☺ SUMENEP SUMEKAR ☺
WELCOME TO SUMENEP SUMEKAR BLOG
heheheheh

KE BEHER VS KSATRIA AOLENKZZZZ


Temen-temen sekarang kan bulan puasaa yuk mari dengarkan aja lagu
0000 Zivilia - tobat [pandumusica.info].mp3

ASAL MUASAL KERAPAN SAPI

 
Kerapan atau karapan sapi adalah satu istilah dalam bahasa Madura yang digunakan untuk menamakan suatu perlombaan pacuan sapi. Ada dua versi mengenai asal usul nama kerapan. Versi pertama mengatakan bahwa istilah “kerapan” berasal dari kata “kerap” atau “kirap” yang artinya “berangkat dan dilepas secara bersama-sama atau berbondong-bondong”. Sedangkan, versi yang lain menyebutkan bahwa kata “kerapan” berasal dari bahasa Arab “kirabah” yang berarti “persahabatan”. Namun lepas dari kedua versi itu, dalam pengertiannya yang umum saat ini, kerapan adalah suatu atraksi lomba pacuan khusus bagi binatang sapi. Sebagai catatan, di daerah Madura khususnya di Pulau Kangean terdapat lomba pacuan serupa yang menggunakan kerbau. Pacuan kerbau ini dinamakan mamajir dan bukan kerapan kerbau.

Asal usul kerapan sapi juga ada beberapa versi. Versi pertama mengatakan bahwa kerapan sapi telah ada sejak abad ke-14. Waktu itu kerapan sapi digunakan untuk menyebarkan agama Islam oleh seorang kyai yang bernama Pratanu. Versi yang lain lagi mengatakan bahwa kerapan sapi diciptakan oleh Adi Poday, yaitu anak Panembahan Wlingi yang berkuasa di daerah Sapudi pada abad ke-14. Adi Poday yang lama mengembara di Madura membawa pengalamannya di bidang pertanian ke Pulau Sapudi, sehingga pertanian di pulau itu menjadi maju. Salah satu teknik untuk mempercepat penggarapan lahan pertanian yang diajarkan oleh Adi Polay adalah dengan menggunakan sapi. Lama-kelamaan, karena banyaknya para petani yang menggunakan tenaga sapi untuk menggarap sawahnya secara bersamaan, maka timbullah niat mereka untuk saling berlomba dalam menyelesaikannya. Dan, akhirnya perlombaan untuk menggarap sawah itu menjadi semacam olahraga lomba adu cepat yang disebut kerapan sapi.

Macam-macam Kerapan SapiKerapan sapi yang menjadi ciri khas orang Madura ini sebenarnya terdiri dari beberapa macam, yaitu:

1. Kerap Keni (kerapan kecil)
Kerapan jenis ini pesertanya hanya diikuti oleh orang-orang yang berasal dari satu kecamatan atau kewedanaan saja. Dalam kategori ini jarak yang harus ditempuh hanya sepanjang 110 meter dan diikuti oleh sapi-sapi kecil yang belum terlatih. Sedangkan penentu kemenangannya, selain kecepatan, juga lurus atau tidaknya sapi ketika berlari. Bagi sapi-sapi yang dapat memenangkan perlombaan, dapat mengikuti kerapan yang lebih tinggi lagi yaitu kerap raja.

2. Kerap Raja (kerapan besar)
Perlombaan yang sering juga disebut kerap negara ini umumnya diadakan di ibukota kabupaten pada hari Minggu. Panjang lintasan balapnya sekitar 120 meter dan pesertanya adalah para juara kerap keni.

3. Kerap Onjangan (kerapan undangan)
Kerap onjangan adalah pacuan khusus yang para pesertanya adalah undangan dari suatu kabupaten yang menyelenggarakannya. Kerapan ini biasanya diadakan untuk memperingati hari-hari besar tertentu.

4. Kerap Karesidenen (kerapan tingkat keresidenan)

Kerapan ini adalah kerapan besar yang diikuti oleh juara-juara kerap dari empat kabupaten di Madura. Kerap karesidenan diadakan di Kota Pamekasan pada hari Minggu, yang merupakan acara puncak untuk mengakhiri musim kerapan.

5. Kerap jar-jaran (kerapan latihan)
Kerapan jar-jaran adalah kerapan yang dilakukan hanya untuk melatih sapi-sapi pacuan sebelum diturunkan pada perlombaan yang sebenarnya.

Pihak-pihak yang Terlibat dalam Permainan Kerapan SapiKerapan sapi adalah salah satu jenis permainan rakyat yang banyak melibatkan berbagai pihak, yang diantaranya adalah: (1) pemilik sapi pacuan; (2) tukang tongko (orang yang bertugas mengendalikan sapi pacuan di atas kaleles); (3) tukang tambeng (orang yang menahan tali kekang sapi sebelum dilepas); (4) tukang gettak (orang yang menggertak sapi agar pada saat diberi aba-aba dapat melesat dengan cepat); (5) tukang tonja (orang yang bertugas menarik dan menuntun sapi); dan (6) tukang gubra (anggora rombongan yang bertugas bersorak-sorak untuk memberi semangat pada sapi pacuan).

Jalannya Permainan
Sebelum kerapan dimulai semua sapi-kerap diarak memasuki lapangan. Kesempatan ini selain digunakan untuk melemaskan otot-otot sapi, juga merupakan arena pamer keindahan pakaian dan hiasan dari sapi-sapi yang akan dilombakan. Setelah parade selesai, pakaian dan seluruh hiasan itu mulai dibuka. Hanya pakaian yang tidak mengganggu gerak tubuh sapi saja yang masih dibiarkan melekat.

Setelah itu, dimulailah lomba pertama untuk menentukan klasemen peserta. Seperti dalam permainan sepak bola, dalam babak ini para peserta akan mengatur strategi untuk dapat memasukkan sapi-sapi pacuannya ke dalam kelompok “papan atas” agar pada babak selanjutnya (penyisihan), dapat berlomba dengan sapi pacuan dari kelompok “papan bawah”.

Selanjutnya adalah babak penyisihan pertama, kedua, ketiga dan keempat atau babak final. Dalam babak penyisihan ini, permainan memakai sistem gugur. Dengan perkataan lain, sapi-sapi pacuan yang sudah dinyatakan kalah, tidak berhak lagi ikut dalam pertandingan babak selanjutnya. Sedangkan, bagi sapi pacuan yang dinyatakan sebagai pemenang, nantinya akan berhadapan lagi dengan pemenang dari pertandingan lainnya. Begitu seterusnya hingga tinggal satu pemain terakhir yang selalu menang dan menjadi juaranya.

Nilai budayaPermainan kerapan sapi jika dicermati secara mendalam mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu adalah: kerja keras, kerja sama, persaingan, ketertiban dan sportivitas.

Nilai kerja keras tercermin dalam proses pelatihan sapi, sehingga menjadi seekor sapi pacuan yang mengagumkan (kuat dan tangkas). Untuk menjadikan seekor sapi seperti itu tentunya diperlukan kesabaran, ketekunan dan kerja keras. Tanpa itu mustahil seekor sapi aduan dapat menunjukkan kehebatannya di arena kerapan sapi.

Nilai kerja sama tercermin dalam proses permainan itu sendiri. Permainan kerapan sapi, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah suatu kegiatan yang melibatkan berbagai pihak. Pihak-pihak itu satu dengan lainnya saling membutuhkan. Untuk itu, diperlukan kerja sama sesuai dengan kedudukan dan peranan masing-masing. Tanpa itu mustahil permainan kerapan sapi dapat terselenggara dengan baik.

Nilai persaingan tercermin dalam arena kerapan sapi. Persaingan menurut Koentjaraningrat (2003: 187) adalah usaha-usaha yang bertujuan untuk melebihi usaha orang lain dalam masyarakat. Dalam konteks ini para peserta permainan kerapan sapi berusaha sedemikian rupa agar sapi aduannya dapat berlari cepat dan mengalahkan sapi pacuan lawan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, masing-masing berusaha agar sapinya dapat melakukan hal itu sebaik-baiknya. Jadi, antarpeserta bersaing dalam hal ini.

Nilai ketertiban tercermin dalam proses permainan kerapan sapi itu sendiri. Permainan apa saja, termasuk kerapan sapi, ketertiban selalu diperlukan. Ketertiban ini tidak hanya ditunjukkan oleh para peserta, tetapi juga penonton yang mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat. Dengan sabar para peserta menunggu giliran sapi-sapi pacuannya untuk diperlagakan. Sementara, penonton juga mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Mereka tidak membuat keonaran atau perbuatan-perbuatan yang pada gilirannya dapat mengganggu atau menggagalkan jalannya permainan.

Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada.



Sumber:Koentjaraningrat, Parsudi Suparlan, dkk,. 2003. Kamus Istilah Antropologi, Jakarta: Progres

Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1991. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

MENGENAL MASYARAKAT MADURA YANG SEBENARNYA

Berbicara tentang orang Madura sering kali kita langsung terbayang sosok orang yang  terstigmakan dengan hal-hal yang berbau kekerasan, angkuh, egois, mau menang sendiri, cepat tersinggung, penuh curiga, dan suka berkelahi (carok). Bahkan dianggap bersinonim dengan senjata tajam. Kemana mereka pergi bisa dipastikan membawa sada’ atau are’ (celurit), calo’ (parang berujung bengkok), baddhung (sejenis kapak besar) atau bahkan rajhang (linggis). Klise negatif itu selalu diidentikan hanya kepada manusia Madura dan sama sekali jarang dilekatkan pada suku-suku lain yang ada di nusantara ini.
Tak heran, satu dari tiga etnis terbesar (Jawa, Madura dan Sunda) di Indonesia ini sangat unik untuk kemudian kita amati dan pahami bersama. Selain itu, suku di suatu pulau di Jawa ini memang cukup populer bahkan telah “menguasai” tidak hanya di Indonesia tetapi juga hampir di seluruh penjuru dunia berkat dunia pelancongannya.
Di tengah keseharian dewasa ini, orang Madura selalu “ada” di sekeliling kita. Dengan berbagai keunikan dan ditambah lagi bahasanya yang terkesan “aneh” ditelinga orang non-Madura menjadikannya selalu hangat untuk diperbincangkan. Lelucon pun banyak diilhami dari tingkah laku dan bahasa orang Madura ini. Dibenci sekaligus disenangi. Mungkin itulah kesimpulan sederhana tentang manusia Madura.
Menilai manusia Madura memang butuh banyak perspektif untuk menghasilkan sebuah pemahaman yang benar akan siapa sejatinya manusia Madura. Sejauh ini telah banyak penelitian-penelitian yang menjadikan orang Madura sebagai obyeknya. Banyak doktor dan profesor yang terlahir dari berbagai aspek kepribadian, etos kerja, kecerdasan, pendidikan, sikap keberagamaan, dan cara bergaul manusia Madura yang menjadi bahan tesis dan disertasinya. Terlepas dari ini semua, perlu kejelian dan kearifan dalam berfikir untuk dapat mengenal sosok manusia Madura seutuhnya.
Emha Ainun Nadjib sempat mengungkapkan bahwa manusia Madura merupakan the most favorable people, yang watak dan kepribadiannya patut dipuji dan dikagumi dengan setulus hati. Belum lagi dari aspek cara berbicaranya, peribahasanya yang menggambarkan prinsip hidupnya, kegemarannya bermigrasi ke berbagai pelosok negeri dan lain-lain. Sebab, tidak ada kelompok masyarakat di muka bumi ini yang dalam menjaga perilaku dan moral hidupnya begitu berhati-hati seperti diperlihatkan oleh orang Madura.
Buku yang berjudul Manusia Madura, Pembawaan, Perilaku, Etos kerja, Penampilan, dan Pandangan Hidupnya seperti Dicitrakan Peribahasanya ini ditulis Prof. Mien A. Rifai, B.Sc., M.Sc., Ph.D. Peneliti senior di LIPI yang juga berdarah asli Madura. Pria kelahiran Sumenep, Madura, Jawa Timur, ini tak lupa akan akarnya. Melalui buku ini beliau mencoba mengupas seluk-beluk sebenarnya akan kehidupan (dirinya) manusia Madura. Mengupas secara verbal siapa sebenarnya mereka yang selama ini banyak distigmakan negatif.
Dalam buku ini, penulis mengungkapkan bahwa sejarah telah membuktikan kelompok etnis Madura adalah termasuk salah satu suku bangsa Indonesia yang tahan bantingan zaman. Terbukti dari kemampuannya beradaptasi dan sikap toleransi yang tinggi terhadap perubahan, keuletan kerja tak tertandingi, dan keteguhan berpegang pada asas falsafah hidup yang diyakininya. Walaupun diberikan dengan nada sinis, selanjutnya diakui pula bahwa orang Madura memiliki keberanian, kepetualangan, kelurusan, kesetiaan, kerajinan, kehematan (yang terkadang mengarah ke kepelitan), keceriaan dan rasa humor yang khas.
Akan tetapi ditambahkan juga bahwa sekalipun memiliki jiwa wirausaha, mereka jarang mau mengambil risiko tinggi, sehingga sedikit pengusaha Madura yang terdengar jatuh pailit namun kecil pula kemungkinan bagi mereka untuk tumbuh besar sampai menjadi konglomerat. Rata-rata orang Madura lalu dianggap tidak berjiwa pioner yang mau maju di garis terdepan yang belum dirambah orang, sebab mereka sangat percaya pada kemapanan tatanan yang tertib dan teratur rapi.
Dari sinilah penulis menyimpulkan, sebagai akibat stereotipe yang serba bertentangan tersebut, lalu timbul anggapan bahwa orang Madura tidak mau berprakarsa, berjiwa statis, dan menolak dibawa maju, apalagi berindustri yang sarat pengetahuan, ilmu, dan teknologi, serta rekayasa. Sebagai bukti ditunjukkan bahwa dari dulu penampilan wanda atau fisiognomi pulau Madura tetap saja seperti sekarang. Sangat terbelakang bila dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Timur yang tampak semakin berkembang sesuai dengan kemajuan zaman.
Di luar itu semua, buku yang ditulis oleh orang asli Madura ini cukup untuk dapat dijadikan cermin. Mengupas mulai dari bagaimana potret manusia Madura hingga peribahasa Madura itu sendiri. Tentunya menjadi acuan bagi siapapun yang tertarik akan seluk-beluk orang Madura. Memahami perilaku, stereotipe, karekteristiknya, juga sisi sosial, ekonomi dan politiknya. Bahkan dapat dijadikan sumber dalam memahami sejarah pulau di sebelah timur kota Surabaya itu. Selain itu, buku ini setidaknya telah melengkapi seri buku yang telah terbit sebelumnya, seperti buku Manusia Indonesia, Manusia Jawa dan Manusia Sunda.

MADURA CHANNEL TV NA ORENG MADURE

MADURA CHANNEL adalah sebuah stasiun televisi swasta regional di Sumenep, Jawa Timur. Madura Channel adalah stasiun televisi swasta pertama dan satu-satunya di madura. Jangkauan Madura Channel meliputi hampir seluruh Madura. Stasiun televisi ini menitikberatkan siarannya pada tayangan seputar kebudayaan daerah Madura dan berita lokal. Stasiun TV ini mulai beroperasi pada 16 April 2007 pada channel 44 UHF.

[sunting] Daftar Acara

  • Seputar Madura
  • Madura Infotama Pagi
  • Madura Infotama Siang
  • Madura Infotama Sore
  • Madura Infotama Malam
  • Sudut Pandang MATA
  • Sorot MATA
  • MATA Akhir Pekan
  • Gerbang Salam Samenggu
  • Dialog Khusus
  • Birokrak
  • Caca Colo
  • Jati Diri Pesantren
  • Pesona Madura
  • Gado-Gado Madura
  • The King Of Han Dinasty III
  • M Music
  • OS (Odik Sehat)
  • Mutiara Indonesia
  • Nyaman Onggu
  • Request Lagu
  • SEKEP (Se Sala E Tangkep)
  • Uang Kita
  • VOA Madura
  • Telepon Dangdut
  • Ma' Emo'
  • Pamor Madura

KABUPATEN SUMENEP

Sumenep (bahasa Madura: Songènèb) adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.093,45 km² dan populasi ±1 juta jiwa. Ibu kotanya ialah Kota Sumenep.
Kabupaten Sumenep pada masa kolonial dikuasai oleh keluarga Kadipaten Madura, yaitu keluarga Cakraningrat.

Lokasi dan administrasi

Kabupaten ini terletak di ujung timur Pulau Madura. Kabupaten Sumenep selain terdiri wilayah daratan juga terdiri dari berbagai pulau di Laut Jawa, yang keseluruhannya berjumlah 126 pulau. Pulau yang paling utara adalah Pulau Karamian dalam gugusan Kepulauan Masalembu dan pulau yang paling timur adalah Pulau Sakala.
Batas-batas kabpuaten ini adalah sebagai berikut. Sebelah selatan berbatasan dengan Selat Madura, sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, aebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pamekasan, dan sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa/Laut Flores.
Kabupaten ini memiliki 27 kecamatan, baik di daratan Pulau Madura maupun di gugus kepulauan. Daftar kecamatan di Kabupaten Sumenep dapat dilihat pada boks di bagian akhir artikel ini.

Wisata

  • Pantai Lombang - adalah pantai dengan hamparan pasir putih dan gugusan tanaman cemara udang yang tumbuh di areal tepi dan sekitar pantai. Suasananya sangat teduh dan indah sekali. Pantai Lombang adalah satu-satunya pantai di Indonesia yang ditumbuhi pohon cemara udang.
  • Pantai Slopeng - adalah pantai dengan hamparan gunung pasir putih yang mengelilingi sisi pantai sepanjang hampir 6 km. Kawasan pantai ini sangat cocok untuk mancing ria karena areal lautnya kaya akan beragam jenis ikan, termasuk jenis ikan tongkol.


n